Wednesday, 30 January 2013

Buah Semangka Disukai Rasulullah SAW


Buah semangka adalah salah satu buah yang digemari oleh Rasulullah ﷺ. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Nabi bahwa beliau pernah makan semangka dicampur dengan kurma muda yang sudah masak, beliau bersabda, “Panas di buah ini dinetralisir oleh unsur dingin di buah ini.” Buah semangka, atau yang dalam istilah arab disebut dengan biththikh adalah buah multi manfaat. Bahkan bagi penderita asam urat pun tak perlu risau jikalau saja mengerti cara memanfaatkan buah manis yang satu ini.


Dari Ibnu Abbas secara marfu, “Semangka adalah makanan, minuman dan raihan (tanaman harum), mencuci kandung kencing, membersihkan perut, memperbanyak air punggung, membantu bercampur, mencerahkan kulit dan mengatasi kelemahan.” (Kitab Ath-Thibbun Nabawi)

Ya, kenyataannya manfaat buah semangka bagi penderita asam urat bukan hanya sekedar isapan jempol belaka. Penelitian terbaru terhadap warga di Dupak Bangunsari, Surabaya yang dipublikasikan oleh laman STIKES YARSIS, menunjukkan bahwa jus semangka memberi pengaruh terhadap penurunan kadar asam urat pada sejumlah lansia yang mengalami hiperurisemia (kadar asam urat tinggi).

Penelitian dilakukan pada 16 orang sampel dan dari kelompok tersebut dibagi menjadi dua golongan terpisah (kelompok kontrol dan eksperimen). Kadar rata-rata asam urat sebelum pemberian terapi jus semangka diketahui pada kelompok eksperimen 8,9 mg/dl, sedangkan kelompok kontrol 8,8 mg/dl.
Sementara setelah pemberian terapi jus semangka rata-rata kadar asam urat pada kelompok eksperimen menjadi 5,5 mg/dl, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata kadar asam urat menjadi 8,7 mg/dl.

Bagaimana cara membuat jus buah semangka?
Imam Ibnu Qoyyim menegaskan bahwasannya yang perlu diperhatikan adalah buah semangka dikonsumsi sebelum makan. Sementara menurut Imam Dzhahabi efek negatif yang kadang timbul ketika mengkonsumsi buah semangka dapat dinetralisir dengan mengkonsumsi jahe.
Dalam memilih semangka kiranya juga dapat mengutip perkataan Abu Mishar al-Ghassani.


“Ayahku apabila membeli semangka suka berkata, wahai anakku hitunglah garis yang ada di dalamnya, jika satu maka dia diciptakan untuk menjadi manis.”(Kitab Thibbun Nabawi)

Sementara untuk membuat jus semangka yang pertama dilakukan adalah dengan menyiapkan buah semangka segar secukupnya. Buah semangka memiliki kandungan air hingga 93 persen, maka semangka tidak membutuhkan tambahan air ketika dibuat jus. Sementara memberi es atau susu pada jus hanya akan memperlambat atau memperpanjang waktu cerna.

Sebelum dijus kulit terluar semangka dikupas tanpa melepaskan bagian daging semangka yang berwarna hijau. Semangka lalu dipotong kecil-kecil hingga memungkinkan mudah untuk diblender. Apabila tidak ada blender dapat juga diparut dengan terlebih dahulu bijinya dibuang. Jika menggunakan juicer biji semangka dapat juga disertakan. Jika ingin, jus semangka dapat ditambahkan beberapa sendok perasan sari lemon agar komposisinya lebih seimbang.

Setelah semangka diblender halus, maka jus dapat diminum satu gelas setidaknya setengah jam sebelum makan pada pagi dan malam hari. Jus semangka dapat diminum untuk menunjang terapi thibbun nabawi lainnya hingga asam urat sembuh. Selamat mencoba!
Baca selengkapnya

Saturday, 26 January 2013

Milyarder Khalifah Utsman Bin Affan R.A

Milyarder Khalifah Utsman Bin Affan R.A

Utsman menyediakan makanan bagi kaum muslimin seperti makanan raja-raja. Padahal, ia sendiri hanya makan dengan minyak zaitun dan cuka, ujarnya. Demikian pula, Abdullah bin Syaddat, mengisahkan : "Saya lihat Utsman berkhutbah hari Jumat dengan memakain pakaian yang harganya empat atau lima dirham saja. Padahal, ia adalah seorang Amirul Mukminin, ucapnya."

Demikianlah, peringai seorang hamba Allah, yang berserah diri kepada Allah. Nafsu makannya ditekan dengan jalan puasa, dihinakannya kemegahan jahiliyah dalam jiwanya, dan dicukupkannhya hanya dengan kemuliaan Islam, hingga dirinya pun menjadi mulia.

Pada suatu hari, ia marah terhadap pelayannya, ditariknya telinga pelayan itu sampai kesakitan. Ketika marahnya reda, ia menjadi gelisah karena perbuatannya itu. Sampai mengganggu tidurnya. Lalu, dipanggilnya pelayan itu, dan disuruhnya melakukan qishas terhadap dirinya dengan cara menarik telinganya. Tetapi, pelayan itu berpaling, dan tidak bersedia melakukannya. Utsman dengan gigih memaksanya. Kemudian, pelayan itu, akhirnya mau menarik telinga Utsman. Keraskanlah tarikannya, hai Gulam?, perintah Utsman. Karena, qishas di dunia ini lebih ringan, dibandingkan qishas di akhirat nanti, tambahnya.

Demikian, keadaan hamba Allah yang tak dirinya tak terpisahkan dari Khaliqnya. Kita temui ia pada peristiwa ini, dan sebagaimana kita jumpai dalam peristiwa lainnya. Sekrang marilah masuk ke dalam masjid Madinah untuk menemui seorang laki-laki mulia dan berwibawa. Anehnya, ia tidur diatas batu kerikil dilantai masjid, sementara jubahnya dijadikan bantal. Tatkala ia terbangun dari tidurnya, terlihat bekas-bekas kerikil itu dipinggangnya

Siapakah laki-laki itu?

Ternyata ia adalah seorang hamba ahli ibadah, dan zuhud yang telah menyerahkan dirinya yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah Azza Wa Jalla. Dia tiada lain adalah Utsman bin Affan, seorang milyader, yang kaya raya, dan harta berlimpah sedekahnya juga melimpah sehingga ia ringan kehidupannya dalam jaminan Allah SWT, dan dunia tidak bisa masuk kehatinya melainkan dunia menjadi budak dirinya, dunia menghiba kepada ahli Syurga, keyakinan dan kekuatan Iman dan Islam, baik sebelulm maupun sesudah masuk ke dalam Islam.

Abdullah bin Umar mengenai dirinya (Utsman), yakni perkataan yang diucapkannya setelah membaca surah Az-Zumar. Apakah kalian yang lebih beruntung hai orang-orang musyrik? Ataukah orang yang beribadah di tengan malam dengan sujud dan berdiri, disebabkan karena takuktnya kepada (siksa) akhirat, dan harapannya akan rahmat Rabbnya..

Utsman Bin Affan salah seorang pemimpin Khulafaur Rasyidin, ditangannya Syariat Islam tegak dalam diri, keluarga dan wliayah kekuasaannya yang luas menaungi umat-umat Islam dan umat lain, dengan Al Quran dan As Sunnah ia pimpin semuanya sehingga Islam begitu mulia tercatat dalam tinta emas sejarah.

Mengenai Khalafaur Rasyidin, empat khalifah pertama, ada hadist yang disebut wasiat perpisahan, semoga menjadi cerminan jauhnya para pemimpin didunia ini dalam jalan Islam.

Suatu hari Rasulullah SAW pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap pd kami dan mberikan nasehat pd kami yg mjadikan air mata berlinang dan hati takut, maka seorang brkata: Wahai Rasulullah nasehat ini seakan2 nasehat dr orang yg akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.

Maka Rasulullah SAW bersabda:
"Aku wasiatkan kpd kalian supaya tetap BERTAQWA kpd Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yg memerintah kalian adalah seorang budak dr Habasyah. Sungguh, orang yg masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yg banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kpd Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin (Sistem Khilafah/Syariat) yang mendapat petunjuk Peganglah erat2 dan GIGIT-lah dgn gigi geraham kalian." ( HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44-45), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (I/ 205), al-Hakim (I/95-96), dishahihkan Imam adz-Dzahabi )
Baca selengkapnya

Friday, 25 January 2013

Kebebasan Hidup Yang Sejati

Kebebasan Hidup Yang Sejati

Seekor kelinci muda menampakkan wajah gelisah ketika berada di sebuah kandang. Walau daun-daun segar selalu tersedia setiapkali ia ingin makan, kandang baginya sebuah penjara yang menghalanginya menikmati kebebasan di luar sana. Kamu ingin bebas dari kandang ini, anakku? ucap seekor kelinci tua tiba-tiba. Warna bulunya yang tidak lagi cerah, menunjukkan kalau si pemilik suara itu sudah begitu lama mengenyam kehidupan.

Tentu saja! Aku ingin bebas di luar sana! jawab si kelinci muda setelah menoleh ke arah kelinci tua.
Persahabatan dua kelinci itu memang tergolong baru. Ketika kelinci muda dimasukkan ke kandang oleh sang pemilik, kelinci tua sudah ada di situ. Ia tidak tahu persis, sudah berapa lama kelinci tua itu menetap di kandang yang tak lebih baginya sebagai sebuah penjara.

Belum lagi dua kelinci itu melanjutkan percakapannya, tangan sang pemilik tiba-tiba menjulur ke kandang. Sepertinya, tangan itu hendak meraih kelinci tua. Dan benar saja, sang kelinci tua berhasil terpegang setelah sebelumnya menunjukkan penghindaran.

Tangan sang pemilik pun mengeluarkan sang kelinci tua di sebuah rerumputan tak jauh dari kandang. Tapi, kelinci tua itu tidak mau bergerak. Ia tetap diam. Sepertinya, sang kelinci tua ingin kembali dimasukkan kedalam kandang.

Seperti memahami bahasa tubuh kelinci, sang pemilik pun kembali memasukkan kelinci tua kedalam kandang.

Aneh, kenapa bapak tidak memanfaatkan kesempatan untuk bebas? Apa bapak lebih senang berada di sini daripada di luar sana? sergah sang kelinci muda sesaat setelah kelinci tua kembali berada dalam kandang.

Anakku, ucap sang kelinci tua. Tidak selamanya kebebasan itu baik. Justru, aku lebih aman berada dalam kandang ini daripada di luar sana! lanjut sang kelinci tua.
Bapak takut berada di luar sana? Bukankah kita bisa berlari cepat jika ada yang membahayakan kita? tanya kelinci muda lagi.

Sebenarnya jawab kelinci tua. Aku lebih takut pada kebebasan diriku sendiri daripada mangsa di luar sana. Karena bagiku, kebebasanlah yang membuatku lengah dari berbagai bahaya. Dan kebebasan pula yang membuatku menjadi bodoh untuk membedakan mana yang aman dan mana yang membahayakan.

Sang Pemilik kehidupan memberikan kebebasan bagi kita untuk memilih: mau bebas atau terpenjara dalam aturannya. Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang mampu melihat bahwa penjara itu jauh lebih baik dari kebebasan.

Padahal, seperti yang diucapkan sang kelinci tua, Kebebasanlah yang menjadikan diri bodoh untuk membedakan mana yang aman, dan mana yang bahaya!

Dengan dalih kebebasan tidak berjilbab, tidak mengaji, menghabiskan masa muda dengan membiarkannya tanpa aturan, anak-anak yang mau bebas, istri dan suami yang mau bebas tanpa arah, justru sering kita saksikan malah menimbulkan kejahiliahan yang berakhir kepada mala petaka tercorengnya kehormatan.

Terpenjara disini ialah pilihan hidup dalam Syariat Allah bukan penjara yg sebenarnya, malah hinalah budak dunia yang mau hidup bebas tanpa arah, penjara ini sejatinya ialah hati yang terpisah dengan kebatilan. Baik pendirian hati yg teguh memegang Agama

Penjara bisa berupa kisah nyata pemuda dalam Gua Al Kahfi, Gua Hira, dan hijrah memisahkan diri dari kegelapan kepada cahaya.

Bila kita berpedoman, Saya mau bebas menghamburkan harta, tanpa mau berbagi, saya mau bebas bergaul tanpa membatasi diri, saya mau bebas berdagang tanpa melihat halal dan haram, saya mau bebas menjalani kehidupan tanpa aturan dan dalih kebebasan lainnya diluar Islam, maka yang ada ia meninggalkan petunjuk.

Islam adalah cahaya yang dibawa Rosulullah SAW adalah kebebasan sejati, dari penghambaan kepada dunia dan manusia menuju cahaya penghambaan kepada Allah SWT. Syiarkan Islam dan genggamlah kepada semua kalangan, tanpa terkecuali itulah tugas kita sebagai khalifah didunia ini. Dunianya Allah SWT sebagai tempat menguji hamba-hamba-Nya genggamlah Quran dan Sunnah Rosulullah agar kita tidak tersesat.
Baca selengkapnya

Thursday, 24 January 2013

Syair Taubat Abu Nawas

Syair Taubat Abu Nawas

Tersebutlah kisah seorang Sahabat yg baru kembali dari medan perang. Saat berada di pintu rumahnya, secara tidak sengaja tiba-tiba nampak olehnya betis seorang perempuan. Perempuan itu adalah istri sahabatnya yg ketika itu sedang bertamu di rumahnya. Seketika itu juga ia melompat keluar dari pintu dan berlari meninggalkan rumahnya, menuju tempat yg sepi, selama bertahun-tahun, untuk bertaubat kepada Allah SWT atas ketidaksengajaannya. Rintihan taubatnya itulah yg sekarang sering kita dengar dalam lagu Al-I'tiraf.

Begitu bertaqwanya Sahabat ini. Begitu takutnya ia kepada Allah atas kesilapannya, walaupun tak sengaja. Ia menyesal, mengapa sampai terjadi perkara yg hina itu padanya? Tentu ada maksud Allah. Mungkin ini sebagai hukuman Allah karena iapun masih suka berbuat begitu, oleh sebab itu Allah pertemukan perkara itu dengannya. Perasaan itu membuat ia begitu takut dan malu dengan Allah, sehingga ia menghukum dirinya sendiri dan tidak mau pulang ke rumahnya selagi dirinya belum bisa menjadi manusia yg baik, sebaik yg Allah kehendaki.

Sahabat yg mulia ini, adalah seorang tokoh yg di Indonesia terkenal dengan cerita-ceritanya yg lucu. Namun sebenarnya ia adalah seorang pujangga, penyair besar di zaman Abbasiyah. Dialah Abu Nawas.

Nama aslinya adalah Al Hasan bin Hani al-Hakami, hidup di tahun 757 — 814 H. Oleh Raja Harun ar-Rasyid, raja yg memerintah di masa itu, ia diangkat sebagai penyair kepercayaan raja. Ia sangat dikagumi dan dikenal karena kepiawaiannya mengungkapkan kegemaran dan kesenangannya pada anggur dengan kalimat-kalimat yg indah. Abu Nawas pada mulanya adalah seorang yg hedonis, namun pada tahun-tahun terakhir kehidupannya ia bertaubat. Syair I'tiraf ini merupakan salah satu syair taubatnya yg paling termasyhur di Nusantara.

Arabic
من قول أبى نواس حين قربت اليه الوفاة :
اِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ اَهلاً. وَ لاَ اَقْوَي عَلَي النَّارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَ اغْفِرْ ذُنُوْبِي. فَاِنَّكَ غَافِرُ الذَنْبِ الْعَظِيْمِ
وَ عَمِّلْنِي مُعامَلةً الْكَرِيْمِ. وَ ثَبِّتْنِي عَلَي النَّهْج الْقَوِيْمِ
ذُنُوْبِي مِثْلُ اَعْدَادِ الرِّمَالِ. فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَا ذَاالْجَلالِ
وَ عُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ. وَ ذَنْبِي زَاءِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
اِلهِي عبْدُكَ الْعَاصِي اٰتَاك. مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَ قَدْ دَ عَاكَ
اِنْ تَغْفِرْ وَ اَنْتَ لِذاكَ اَهْلٌ. وَ ِانْ تَتْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِواكَ


Latin

Ilahi lastu lilfirdausi ahla, walaa aqwa ‘ala naaril jahiimi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainaka ghafirudz- dzanbil ‘adzimi
Dzunubi mitslu a’daadir- rimali, fahabli taubatan ya Dzal Jalaali
Wa ‘umri naqishu fi kulli yaumi, wa dzanbi zaaidun kaifa –htimali
Ilahi ‘abdukal ‘aashi ataak, muqirran bi dzunubi wa qad di’aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahlun, wain tadrud faman narju siwaaka


Artinya

“Oh, Tuhanku,
aku tak layak menjadi penghuni surga
Tapi, aku tidak tahan di neraka jahim
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku,
Sebab Engkaulah Maha Pengampun dari dosa-dosa besar
Tuhan, dosaku bagaikan bilangan pasir
Berilah aku kesempatan taubat Wahai Yang Maha Agung
Sementara umurku selalu berkurang tiap hari,
Malah dosaku terus bertambah, bagaimana aku menanggungnya?
Tuhanku,
Hamba-Mu yang penuh dosa kini telah datang pada-Mu mengakui dosa-dosanya dan memanggil nama-Mu
Jika Engkau ampuni, dan Engkau berhak mengampuninya
Sekiranya Engkau tolak,
Siapa lagi yang kami harap selain Engkau?”

*Note:
Syair tersebut adalah gubahan Abu Ali al-Hasan ibnu Hani al-Hakami. Seorang sufi besar dan juga seorang penyair Islam termasyhur di era kejayaan Islam pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809. Pada zamannya beliau terkenal dengan sebutan Abu Nawas.
Baca selengkapnya

Selamat Menyambut Maulidur Rasul 1434 H

Selamat Menyambut Maulidur Rasul 1434 H



Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي‎, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Sejarah

Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.

Perayaan
Indonesia
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten.

Luar Negeri
Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.

Maulid dirayakan pada banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania, Rusia dan Kanada. Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Partisipasi dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.

Sumber : Wikipedia (id)

Baca selengkapnya

Wednesday, 23 January 2013

Kepemimpinan dan Pemerintahan Khalifah


Khalifah (Arab: خليفة Khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat menjadi "amir".

Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan pemilu ataupun dengan majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai'at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah, yaitu sebuah sistem pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia.
Jabatan dan pemerintahan kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.

Etimologi

Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para pemimpin Islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu, beberapa akademisi memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat Islam tersebut.



Struktur pemerintahan Negara Khilafah
Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
1. Khalifah
Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
2. Mu'awin Tafwidh
Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
3. Mu'awin Tanfidz
Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
4. Amirul Jihad
Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
5. Wali
Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
6. Qadi
Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
7. Jihaz Idari
Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
8. Majelis Ummat
Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.

Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:
It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well.
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak. Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif. Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain
Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
1. Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
2. Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.

Keruntuhan kekhalifahan

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
Baca selengkapnya

Wednesday, 16 January 2013

Taubat Nabi Yunus AS

Do'a Nabi Yunus AS
Click here to Zoom The Image
Al-Quran ada memaparkan kepada kita kisah taubat Nabi Yunus AS ketika beliau menyeru kaumnya supaya menyembah Allah. Mereka tidak menerima seruannya. Lantas Nabi Yunus tidak bersabar melihat penolakan mereka sehingga beliau memarahi mereka. Beliau kemudian menjauhkan diri dari mereka. Lalu Allah menguji beliau dengan satu cubaan yang bertujuan untuk membersihkannya, menampakkan kekuatan jiwanya, keyakinannya kepadaNya dan kebenarannya bersama Allah.
Pada suatu hari beliau menaiki sebuah bahtera. Apabila bahtera tersebut berada ditengah lautan, tiba-tiba ia ditiup angin yang kencang. Ombak yang kuat pun memukul-mukul bahtera tersebut. Semua yang berada di dalamnya mula bimbang mereka akan karam. Mereka berkata, "Kita mestilah mengurangkan beban bahtera ini agar kita semua tidak karam." Mereka tidak mempunyai pilihan yang lain selain dari membuang sebahagian penumpang ke dalam lautan untuk menyelamatkan sebahagian penumpang yang lain.
Mereka pun membuat pilihan melalui undian. Undian tersebut terkena pada Nabi Yunus AS. Tiada pilihan yang lain bagi Nabi Yunus melainkan akur kepada persepakatan tersebut. Maka beliau pun dibuangkan ke dalam lautan. Beliau ditelan ikan paus atau "An-Nun" sebagai celaan kerana memarahi kaumnya dan berputus asa dengan meninggalkan mereka tanpa terus berusaha menyeru mereka lagi. Di sini jelas kelihatan keyakinan Nabi Yunus, Zun Nun. Di dalam kegelapan laut, malam dan perut paus yang menyelubunginya itu, Nabi Yunus pun menyeru dengan kalimah-kalimah yang telah dirakamkan dan diabadikan oleh al-Quran melalui perkisahannya;
"Maksudnya: Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahawa Kami tidak akan mempersempitkannya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,
"Bahawa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah di kalangan orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan, demikianlah kami menyelamatkan orang-orang yang beriman." (Surah al-Anbiya' ayat 87-88)
Tiga kalimah ringkas yang diserukan oleh Nabi Allah Yunus tersebut mempunyai pengertian yang agung. Kalimah-kalimah tersebut ialah.
Pertama: Kalimah yang menunjukkan tentang ketauhidan (tauhid Uluhiyyah) yang menjadi sebab kenapa Allah mengutuskan para Rasul dan menurunkan kitab-kitab serta sebab kepada pembinaan syurga dan neraka.Kalimah tersebut ialah;
La ilaha illa anta.
Kedua: Kalimah yang membersihkan Allah dari segala sifat kekurangan. Ia adalah makna tasbih yang menjadi sebab kepada penciptaan langit dan bumi serta semua makhluk. Setiap sesuatu pasti bertasbih kepadaNya. Kalimah itu ialah;
Subhanaka.
Ketiga: Kalimah yang membuktikan pengiktirafan terhadap dosa dan kelalaian dalam menunaikan hak Tuhan serta menzalimi diri sendiri lantaran kelalaian.
Kalimah tersebut ialah;
Inni kuntu minazzholimiin.
Inilah slogan atau tema kepada taubat.

Tidak hairanlah jika kalimah-kalimah yang benar lagi ikhlas ini mempunyai kesan yang segera terlaksana di dunia sebelum Akhirat. Seterusnya Allah berfirman
"Maksudnya: "Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman" (Surah al-Anbiya' ayat 88).
Kalimah-kalimah ini berserta tiga pengertiannya iaitu tauhid, pembersihan dan pengiktirafan telah menjadi teladan di dalam permunajatan dan di dalam menghadapi kesulitan, sehingga terdapat dalam sebuah hadith yang telah diriwayatkan oleh At-Tirmizi dan hukumnya sebagai sahih;
"Doa saudaraku Zun Nun, yang jika dibaca oleh orang-orang yang mendapat kesulitan, nescaya Allah akan membebaskannya dari kesulitan itu, iaitu: "Tiada Allah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku temasuk dikalangan orang-orang yang zalim."
Wallahu'alam...

Personal Remark:
-Saya rasa ada banyak pengajaran yang boleh kita dapati dari kisah ini. Antaranya ialah:
  1. Agar kita segera bertaubat apabila menyedari akan kesilapan yang telah kita lakukan. Ucaplah kalimah taubat seperti yang diucapkan oleh Nabi Yunus dan yakinlah akan bantuan serta haraplah keampunan dari Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun.
  2. Supaya kita selalu beringat bahawa Allah lebih berhak ke atas kita dan Dia berhak menghukum kita atas kesalahan yang kita lakukan. Mohonlah keampunan daripadaNya dengan harapan hukuman ke atas kita akan diringankan dan dipermudahkan serta dosa kita di ampunkan.
  3. Hukuman serta dugaan dari Allah adalah salah satu cara tarbiah Allah kepada hambaNya agar kita sedar akan kelemahan serta kelalaian diri dalam melaksanakan suruhanNya serta meninggalkan laranganNya. Hukuman dan dugaan juga adalah cara penghapusan dosa, pembersihan diri dan pengukuhan pada tahap keyakinan, ketaqwaan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah agar kita tidak mudah putus asa dan yakin akan pembelaanNya kepada orang-orang yang beriman.
  4. Supaya kita yakin, bahawa pintu taubat Allah itu sentiasa terbuka, selagi belum tibanya hari Akhirat atau selagi ajalnya belum sampai ke tenggorok (halkum). (Perihal "ajal sampai ke tenggorok" ada diriwayatkan oleh Ibn Majah dan At-Tirmizi di dalam satu hadith hasan yang bermaksud: "Sesungguhnya Allah menerima taubat seseorang hamba selagi mana ajalnya belum sampai ke tenggorok (halkum).")
  5. Peringatan supaya jangan mudah putus asa dalam usaha menyeru umat manusia ke jalan Allah dan dalam berdakwah. Sentiasa yakin akan pertolongan dan bantuan Allah dan yakinlah bahawa jalan Allah adalah jalan yang jelas kebenarannya.
Wallahu'alam. Sesungguhnya yang baik itu datang dari Allah, dan yang buruk itu adalah dengan keizinanNya tetapi di atas kelemahan dan kecuaian diri saya sendiri. Jazakallahu khair.

Dipetik dari buku Taubat kepada Allah,ditulis oleh Prof Dr Yusuf al-Qardhawi dan diterjemah oleh Ustaz Mohammad Zaini b Yahya.
Baca selengkapnya

Sunday, 13 January 2013

Suap, Nikmat Sementara Membawa Sengsara

Suap, Nikmat Sementara Membawa Sengsara

Kasus suap memang sering menjadi topik pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat. Beritanya pun telah menghiasi halaman berbagai surat kabar serta media massa lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut sangat merugikan berbagai pihak. Padahal junjungan kita yang mulia yaitu Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan akan bahayanya. Hanyalah laknat, celaan, umpatan, dan hujatan yang akan menyelimuti diri mereka. Namun sayang, sangat sedikit yang mau mengambil pelajaran darinya.

Kedudukan Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baghawi, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan sejumlah ulama di dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Hibban dan para pakar hadits lainnya seperti Ibnu Hajar.
Sementara itu dalam riwayat lain yang shahih juga disebutkan:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap.”
Dalam 2 hadits tersebut sangat jelas menerangkan tentang kesengsaraan yang akan menimpa para pelaku suap baik sebagai penyuap maupun penerima suap, yaitu akan mendapatkan laknat Allah dan Rasul-Nya.
Kalau ada seorang yang bertanya, “Atas dasar apa mereka berhak mendapatkan laknat?” Maka jawabannya ialah, “Karena dalam perbuatan yang dilakukan oleh keduanya mengandung berbagai kerusakan yang besar, menggugurkan hak-hak manusia dan ada unsur penipuan di dalamnya.” (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Makna suap (risywah) secara bahasa adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu maksud yang diinginkan.
Adapun makna suap secara syar’i adalah pemberian (harta) kepada seseorang, yang dikehendaki dengan pemberian tersebut tercapainya suatu tujuan yang tidak benar atau untuk menggugurkan suatu hak. (Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Contohnya, seseorang memberikan sejumlah uang kepada pimpinan agar diterima sebagai PNS padahal dia tidak lulus dalam ujian. Atau membayar sejumlah uang untuk mendapat SIM padahal dia belum cukup umur.
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullaah mengatakan, “Suap hukumnya adalah haram menurut kesepakatan para ulama, sama saja apakah diberikan kepada hakim (atau jaksa) atau petugas yang menarik zakat dan selain keduanya. Karena sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang tidak benar dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, dalam keadaan kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:188) (Lihat Subulus Salam 2/577)

Mengapa suap diharamkan?

Suap diharamkan dengan beberapa alasan berikut:
  1. Berdasarkan hadits yang shahih disebutkan bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap. (Ini adalah ancaman yang sangat keras) Oleh karena itulah suap digolongkan ke dalam dosa besar.
  2. Suap akan mengakibatkan rusaknya norma kehidupan manusia. Seorang yang memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi maka dialah yang akan mendapatkan kemudahan. Sehingga setiap orang akan bersaing untuk memberi suap dengan nilai yang lebih tinggi dari pihak lawannya.
  3. Dengan suap, akan mendorong seseorang untuk melakukan perubahan terhadap hukum Allah subhaanahu wa ta’aalaa.Suap yang diterima oleh seorang hakim, akan mendorongnya untuk memberi putusan yang tidak sesuai dengan hukum Allahsubhaanahu wa ta’aalaa (keadilan). Berarti ia telah melakukan perubahan terhadap hukum Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
  4. Suap merupakan tindak kezhaliman. Hakim yang menerima suap akan memberi putusan (menguntungkan) bagi si penyuap melalui cara yang tidak benar. Berarti ia telah berbuat zhalim (tidak adil) terhadap lawan si penyuap.
  5. Suap merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
  6. Suap adalah perbuatan menyia-nyiakan amanah (khianat).
    (Lihat asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 15/306)
Pelajaran yang dapat kita petik dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
  1. Bolehnya melaknat penyuap dan penerima suap. Akan tetapi kebolehan melaknat di sini maksudnya adalah secara umum dan bukan kepada pribadi tertentu. Adapun melaknat pribadi tertentu maka tidak diperbolehkan walaupun orang tersebut terbukti melakukan suap. Karena bisa jadi suatu saat nanti Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberinya hidayah sehingga ia pun bertaubat dan dengan taubatnya tersebut Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengampuni dosanya dan ia selamat dari laknat-Nya.
  2. Suap adalah masalah yang besar dan merupakan bagian dari dosa besar. Hal ini karena Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap.
  3. Wajibnya menegakkan keadilan di antara manusia. Dan di dalam suap, unsur ketidakadilan sangat mendominasi. Dilihat dari sisi, si penyuap lebih diutamakan (mendapat pelayanan) daripada selainnya. Atau mendapat putusan (yang menguntungkan) melalui cara yang tidak benar padahal dalam keadaan sebagai pihak yang bersalah. (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)
    Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullaah meletakkan pembahasan suap pada bab riba dalam kitab Bulughul Maram. Mengapa dimasukkan pada bab riba? Karena antara suap dan riba ada sisi kesamaan. Suap adalah memakan harta (orang lain) melalui cara yang tidak benar dan ini mirip dengan riba. (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/43)

Praktek Suap

Praktik suap yang dilakukan oleh beberapa oknum telah mencoreng kewibawaan berbagai lembaga baik lembaga hukum, legislatif, pendidikan, olahraga, dll. Sejak zaman dahulu sampai sekarang telah dikenal bahwa lembaga hukum merupakan lembaga yang di dalamnya banyak sekali diwarnai kasus suap.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “…dan kebanyakan kasus suap terjadi pada lembaga hukum, di mana salah satu pihak yang bermasalah akan menyuap hakim (atau jaksa) agar memberi putusan sesuai yang diinginkan. Kasus suap juga terjadi pada lembaga yang lain, seperti seorang memberi suap kepada pimpinan atau direktur agar diterima sebagai pegawai padahal dia bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut.” (Lihat Fath Dzil Jalali wal Ikram 4/42)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan y mengatakan, “Dan diharamkan bagi seorang hakim untuk menerima suap, berdasarkan hadits Ibnu ‘Amr, beliau berkata, “Rasulullah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR. at-Tirmidzi)
Kasus suap yang dilakukan oleh seorang hakim memiliki 2 bentuk :
  1. Seorang hakim mau menerima suap dari salah satu pihak yang bermasalah untuk kemudian dimenangkan kasusnya melalui jalan yang tidak benar.
  2. Seorang hakim menolak memberi putusan yang adil kepada pihak yang benar, hingga pihak yang benar memberi suap kepadanya barulah sang hakim memberi putusan. Ini adalah bentuk kezhaliman yang besar.”
    (Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/626)

Suap adalah Budaya Kaum Yahudi

Suap adalah budaya kaum yang dimurkai Allah subhaanahu wa ta’aalaa yakni kaum Yahudi. Padahal dalam kitab mereka sendiri yaitu Taurat, suap hukumnya adalah haram. Budaya yang buruk ini kemudian dilestarikan oleh sebagian manusia sampai sekarang tanpa ada rasa takut kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Allah telah menceritakan tentang kebobrokan akhlak kaum Yahudi dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya adalah firman-Nya:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka itu (Yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan sesuatu yang haram (suap).”(Al-Maidah: 42)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu dan para ulama ahli tafsir lainnya menafsirkan bahwa makna (السُّحْتُ) dalam surah Al-Maidah ayat 42 di atas adalah suap. (Tafsir ath-Thabari 10/319)
Al-Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kalangan hakim kaum Yahudi (di zaman Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam) semacam Ka’b bin al-Asyraf dan yang semisalnya. Mereka dahulu biasa menerima suap dan memberi putusan (yang menguntungkan) kepada orang yang menyuap. (Tafsir al-Baghawi 2/53)

Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Rifqi hafizhahullaahu ta’aalaa

Sumber : www.buletin-alilmu.com
Baca selengkapnya

"Sejenak Menghisab Diri"

Setiap tubuh manusia di dalamnya terdapat segumpal darah yang terletak di dalam dadanya. Hati itulah kebanyakan dari manusia menyebutnya. Hati merupakan tempat penglihatan Allah atas hambaNya.  Hati adalah tempatnya niat yang dengannya diterima atau ditolaknya suatu amalan dhohir.  Hati adalah tempat yang dengannya mengenal Alloh, mencintaiNya, takut, berharap dan bertawakkal kepadaNya. Sehingga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan berkenaan dengan segumpal darah yang ada pada setiap tubuh manusia tersebut dengan sabdanya :
ألا وَإنَّ في الجسدِ مُضْغَة إذا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّه وَإذا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلَّهُ ألا وَهيَ القَلْبُ
Dan ketahuilah sesungguhnya pada tubuh manusia itu terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh anggota badannya, dan jika ia rusak rusaklah seluruh anggota tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.Hadits Riwayat Bukhory dan Muslim dari sahabat An-Nu’man bin Basyir –radziallahu’anhuma-
Ibnul Qoyyim –Rahimahullah- menyebutkan : Sesuatu yang paling mulia pada tubuh manusia adalah hatinya, Hati adalah yang mengenal Alloh Ta’aala yang senantiasa berusaha tertuju kepadaNya dan yang senantiasa berusaha untuk mencintaiNya, Hati adalah tempatnya iman dan pengetahuan, ia yang diajak berbicara dan yang diutus kepadanya para Rasul, yang dikhususkan dengan pemberian yang paling utama yaitu keimanan dan akal.Adapun seluruh anggota badan hanyalah mengikuti hati dan melayani hati tersebut….- sampai akhir ucapan beliau –
Kegalauan, rasa gundah gulana dan yang kemudian berakibat menjadikan kerasnya hati bak kerasnya batu atau bahkan lebih keras dari batu , adalah disebabkan karena ketertipuan dengan berbagai perhiasan dunia dan pernak-pernik dari fitnah dunia.  Memberikan kebanyakan dari waktunya untuk mencari dunia dan bersenang-senang terhadap perkara dunia yang telah dicapainya. Dan sedikitnya sikap untuk menghadiri halaqoh ilmu dan merasa cukup dengan apa yang ia ketahui dari urusan agamanya.
Belum lagi, dari dunia luar mengancam berbagai hal-hal yang lebih akan memalingkan lagi, yaitu hal-hal yang secara hukum syari’ah mewajibkan untuk menjauhinya. Dulunya sebagian rumah-rumah kaum muslimin dengan kesadarannya sehingga selamat dari perkara yang melalaikan, dengan dikeluarkannya dari rumah tersebut suatu benda berupa televisi dan yang semisalnya. Akan tetapi suatu musibah yang menimpa di zaman ini, bahwa benda dari dunia luar tersebut bukan lagi masuk ke rumah-rumah kaum muslimin akan tetapi sekarang telah masuk ke saku-saku baju anak-anak kaum muslimin.
Para orang tua, para bapak, para ibu dan segenap kaum muslimin di hadapan kita semua terdapat tantangan baru, kelanjutan episode yang telah lalu. Kalau kisah episode yang telah lalu ada orang tua yang mengatakan kepada anaknya ketika bermain di tempat kakek-neneknya : Nak, di tempat simbah dilarang nonton televisi ya ! Awas nanti saya tanya kepada mbah… atau ungkapan semisalnya. Adapun episode sekarang dan mendatang bagaimana para orang tua akan menasihati anak-anak mereka. Jawabannya adalah kembali kepada para orang tua tersebut yang sadar dan yang memiliki kepedulian atas pendidikan dan akhlak anak-anak mereka masing-masing. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya :
كُلُّ مَولودٍ يولَدُ عَلى فطرةٍ فأبواهُ يُهوِّدانه أو يُنَصِّرانِهِ أو يُمجِّسانِهِ
Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikan anak-anak mereka itu apakah sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau seorang Majusi.
Peran wanita shalihah apakah kedudukannya sebagai dirinya sendiri atau kedudukannya sebagai seorang isteri atau kedudukannya sebagai seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar terhadap perilaku dan akhlak generasi anak-anak kaum muslimin.
Wanita shalihah sebagai dirinya sendiri ia akan memulai dari dirinya untuk memerangi jiwanya berupaya menjalankan setiap perintah dan berupaya menjauhi setiap larangan Allah dan RasulNya. Senantiasa ia memohon kepada Alloh Ta’aala dengan panjatan doa sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah shallahu’alaihi Wa Sallam dalam setiap khutbah hajah beliau :
وَنَعُوذ باللهِ مِنْ شُرورِ أنفُسِنا وَمِنِ سَيِّاتِ أعْمالنا
Dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami.
Seorang wanita shalihah akan senantiasa menghisab jiwanya dan menyelisihi dari setiap seruan kejelekan dari jiwanya. ‘Umar bin al-Khaththab berkata : Hisablah jiwa-jiwa kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah jiwa-jiwa kalian sebelum ditegakkan timbangan kepada kalian, sungguh yang demikian itu lebih ringan untuk menghadapi penghisaban di hari esok (kiamat), dan timbanglah jiwa-jiwa kalian untuk menghadapi hari dihadapkan seluruh amalan (hari kiamat) nanti.Firman Allah Ta’aala :
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu) tidak ada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah Ta’aala). (Al-Haaqah : 18 ).
Perkara yang sangat pantas menghiasi diri seorang wanita shalihah adalah tidak lalai dari menghisab jiwanya dan senantiasa menghisab jiwanya apakah pada setiap gerak-gerik tindakannya, setiap langkah kakinya, dan bahkan di saat diamnya. Firman Allah Ta’aala :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan ia menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.(An-Naazi’aat : 40-41).
Wanita shalihah senantiasa berupaya melakukan sebab-sebab yang akan melunakkan hatinya, dan sebesar-besar sebab perkara untuk melunakkan hati adalah senantiasa membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, firman Allah Ta’aala :
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (Qaaf : 37).
Dan Firman Allah Ta’aala :
فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَن يَخَافُ وَعِيدِ
Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku.(Qaaf : 45)
Dan wanita shalihah adalah seorang yang cermat di dalam memilih sahabat dekat , terlebih di dalam menimba  ilmu agama ini dari siapa  ia mengambilnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
المَرْءُ  مَعَ دِينِ خَليلِه
Seseorang itu bersama agama teman dekatnya.
Firman Allah Ta’aala :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh. Lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri-diri mereka sendiri, mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.(Al-Hasyr : 19).
Sehingga demikian pula seorang wanita shalihah adalah menghindari dan menjauhkan diri dari berteman kepada orang-orang yang berlaku kejelekan dan para pelaku kemaksiatan, karena sesungguhnya seseorang itu adalah siapa yang menjadi teman dekatnya, dan di dalam mengenali seeorang janganlah bertanya kepada seseorang tersebut akan tetapi bertanyalah tentang siapa teman dekat seseorang yang ingin kalian kenal tersebut.
Fenomena berteman secara acak, telah disuguhkan pada jejaring social yang bernama Facebook dan yang semisalnya, akankah wanita muslimah yang masih dipenuhi rasa malu untuk nimbrung di dalamnya? Terlebih kedudukan sebagai wanita shalihah.
Masih banyak sarana untuk mendapatkan ilmu agama ini dengan perkara yang lebih selamat. Tidaklah  semua perkara yang mubah mesti  harus digunakan, apalagi perkara yang mubah tersebut jelas membawa kepada kemudharatan agamanya.  Na’uudzu billahi min kulli syarrin.
Baca selengkapnya